About

Pages

KULTUM HARIAN

Di laksanakan sebelum memulai perkuliahan jam pertama

KULTUM MINGGUAN

Di laksanakan hari Juma't pukul 06.30 di ruang Audit STIKES Pemkab Jombang

KANTIN KARE

Kajian Rutin Kamis Sore

BULETIN DAKWAH "INSPIRE NS"

Diterbitkan pada minggu kedua dan ketiga setiap bulan

Training ke Islaman

Di selenggarakan pada saat penerimaan mahasiswa baru

Selasa, 12 Februari 2013

Menyoal Perayaan Valentine



Alhamdulillah kita telah sampai pada bulan Februari. Ini artinya akan kita dapati pada bulan ini beberapa hal yang menarik, mulai dari bilangan tanggal hanya sampai 28, sampai akan ada beberapa ciri khas  yang tidak kita temui di bulan lain yakni, maraknya kesan warna pink dimana – mana, bunga mawar laku keras dipasaran, sampai coklat – coklat manis yang bisa bikin diabetes laku keras juga :D. Kira – kira ada apa ya di bulan Februari ini kok begitu istimewa? Jawabannya pasti semua sudah tau, ya karena tanggal 14 Februari itu kata orang – orang ada Valentine day’s. yah itulah yang akan kita bahas dalam buletin kali ini apa sih valentine itu, Gimana sejarahnya dan bagaiman sih seharusnya sikap kita sebagai kaum muslimin menykapinya? Lets check this out J
Sejarah Perayaan Valentine’s Day
The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine Day:
Perayaan valentine day bersal dari perayaan Lupercalia yang merupakan rangkaian pensucian di masa Romawi kuno (13 – 18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love), Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama – nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya kelur harus menjadi pasangannya selama senang – senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda dengan cambuk melecut orang dengan cambuk dan wanita berebut untuk dilecut karana menganggap lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Ketika agama kriaten katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa kristiani, antera lain mengganti nama – nama gadis dengan nama – nama Paus dan Pastor. Diantara pendukungnya adalah Kaisar Constatine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britanica, sub judul: Christianity).
Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran kristen, pada 496 M Paus Glasius I menjadikan upacara Romawi kuno ini sebagai perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentineyang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).
Kebiasaan mengirim kartu valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 ketika Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi untuk istrinya di Prancis. Kemudian Gheoffri Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britanica, Vol. 12 hal. 242, The World Book Encyclopedia 1998)
Lalu bagaimana dengan ucapan Be My Valentine? Ken Sweiger dalam artikelnya Should Bibical Christians Observe It? (www.kornet.com) mengatakan, kata Valentine berasal dari bahasa latin yang berarti: Yang Maha Kuasa. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhan orang Romawi.
Maka disadari atau tidak ­-tulis Ken Seiger­­- jika kita meminta orang menjadi “Be My Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi Sang Maha Kuasa) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Lho, yang ini sudah jelas Syirik namanya, artinya menyekutukan Allah. Ada satu lagi yang tak luput dari perayaan V-day, simbol dewa cinta bernama Cupid (berarti: The Desire), sosok bayi bersayap dengan panah, adalah putra Nimrod, The Hunter­­­ (dewa matahari). Disebut tuhan cinta karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan dalam kisahnya ia pun berzinja dengan ibunya sendiri! Dengg!!! Astaghfirullah…
Bagaimana Seharusnya Sikap Kaum Muslimin?
Setelah mengetahui asal muasal dari perayaan Valentine’s Day ternyata kita dapati bahwa perayaan tersebut bukan berasal dari Islam, lebih tepatnya perayaan tersebut berasal dari budaya Romawi kuno yang lalu diteruskan oleh agama kristen. Jika sudah tau begini sikap paling tepat bagi kita sebagai kaum Muslimin adalah tidak ikut – ikutan dalam merayakannya. Ingat Allah telah berfirman dalam kitabNya bahwasannya mereka (orang – orang Yahudi dan Nasrani) tidak akan pernah ridho kepada kita sebelum kita mengikuti semua ajaran –ajarannya dan pola hidupnya

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah: 120)

Tidaklah mengherankan jika kemudian kita mengambil kesimpulan bahwa bisa jadi salah satu senjata pelumpuh semangat dalam berIslam adalah Valentine Day. Remaja kita dininabobokkan dengan fenomena merayakan hari kasih sayang. Mereka akan menangis bila pacarnya marah, tapi tidak akan menangis bila kehilangan waktu sholat. Mereka akan bersedih bila pacarnya marah, tapi mereka tidak akan bersedih ketika Allah marah melihat kelakuan mereka.
Pemikiran remaja sekarang dirubah sedemikian rupa. Cinta menjadi segala – galanya. Sayangnya cinta hampir seluruh diartikan dengan berbuat zina dengan orang yang dicintainya. Remaja yang lugu pun akan melakukan itu karena cinta, meski harus berlumuran doa. Sehingga banyak yang mengaku kehilangan kehormatannya pada saat mereka merayakan hari kasih sayang ini.
Islam sangat melarang umatnya untuk tasyabbuh (baca: meniru) kebiasaan, kebudayaan dan perayaan – perayaan orang diluar Islam, berikut ada beberapa hadist yang menerangkan bahwa jikalau kita mengikuti gaya hidup mereka, dan ikut serta merayakan perayaan – perayaan mereka maka kita termasuk bagian dari mereka.

”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” 
(HR al-Baihaqi )

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)

Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah mengingatkan kita ataupun mewanti – wanti kita bahwasannya kelak kebanyakan umat Islam nanti akan meniru dan mengikuti hampir dari keseluruhan ajaran mereka.

Beliau Shallallahu ‘alahi Wasallam bersabda:
"kamu akan mengikuti cara-cara dari orang-orang yang sebelum kamu sehasta demi sehasta dan selangkah demi selangkah, walau pun mereka memasuki lubang biawak kamu akan mengikuti mereka". Kami berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksud (mengikuti) Yahudi dan Nasrani?" beliau menjawab: "Siapa lagi?" (HR Bukhari)

Jadi sudah selayaknya bagi kaum muslimin terutama para remaja Islam tidak merayakan Valentine’s Day apalagi jika hanya ikut – ikutan tanpa di dasari pengetahua,n padahal semua apa yang kita kerjakan akan kelak kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al Isra': 36)
baca selengkapnya »»  

Minggu, 30 Desember 2012

Toleransi Islam untuk 25 Desember

Natal jelas bukan perayaan kaum Muslim, dan kaum Muslim harusnya tidak berkepentingan dengan itu. Namun jelas ada hubungannya dengan kaum Muslim mengingat sebagian besar daripada kita juga berhubungan dengan sesama kita yang merayakannya. Karena itu menjadi penting kiranya kita membahas bagaimana pandangan Islam tentang Natal dan seputarnya serta toleransi kita di dalamnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus Sang Mesias (Isa Al-Masih). Walaupun gereja Katolik menganggapnya begitu.
Encyclopedia Britannica (1946), menjelaskan, “Natal bukanlah upacara-upacara awal gereja. Yesus Kristus atau para muridnya tidak pernah menyelenggarakannya, dan Bible (Alkitab) juga tidak pernah menganjurkannya. Upacara ini diambil oleh gereja dari kepercayaan kafir penyembah berhala.”
Secara sains, dibuktikan tanggal 25 Desember adalah pertama kalinya matahari bergerak ke arah utara dan memberikan kehangatan setelah matahari berada di titik terendah di selatan pada 22-24 Desember (winter solstice) yang menyebabkan bumi berada di titik terdingin.
Karena itulah orang Yunani pada masa awal merayakan lahirnya Dewa Mithra pada 25 Desember, dan orang Latin merayakan hari yang sama sebagai kelahiran kembali Sol Invictus (Dewa Matahari pula)
Singkatnya, Bila kelahiran Yesus disangka 25 Desember, maka itu adalah kesalahan yang nyata
Namun, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa umat Kristen telah menjadikan tanggal 25 bukan hanya sebagai peringatan, tapi perayaan kelahiran ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka. Sehingga permasalahannya berubah menjadi permasalahan aqidah.
Karena itulah dalam Islam, kita pun dilarang ikut-ikutan merayakan Natal, karena itu adalah perayaan aqidah. Termasuk ikut memberikan ‘selamat natal’ atau sekadar ucapan ‘selamat’ saja. Karena sama saja kita mengakui bahwa Natal adalah hari lahir ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih (TQS al-Maaidah [5] : 73)
Seringkali kita beralasan, “Tapi kan nggak enak, dia bos saya / teman saya / dll, masak saya nggak ngucapin, kalo dalam hati mengingkari kan gak papa, yang penting niatnya! Toleransi dong!”
Perlu kita sampaikan, niat apapun yang kita punya, apabila kita melakukan hal itu, maka sama saja hukumnya. Dan toleransi bukanlah mengikuti perayaan aqidah umat lain. Oleh karena itu harusnya kita lebih takut kepada Allah dibanding kepada manusia.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (TQS al-Maaidah [5] : 44)
Lalu bagaimana toleransi Islam terhadap agama lain? Toleransi kita hanya membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini tanpa kita ganggu. Itulah toleransi kita.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (TQS al-Kaafiruun [109] : 6)
Toleransi bukannya ikut-ikutan dengan kebablasan dan justru terjebak dalam kekufuran. Sebagai Muslim harusnya kita menyampaikan bahwa perayaan semacam ini adalah salah. Dan kalaupun toleransi, bukan berarti mengorbankan aqidah kita, mari kita ingat pesan Rasulullah
”Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk liang biawak niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab: ”Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Walhasil sekali lagi kita mengingatkan bahwa haram hukumnya di dalam Islam mengikuti perayaan Natal, juga termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal/Selamat’ ataupun yang semisalnya. Mudah-mudahan Allah menunjuki kita dan mereka

Akhuna Felix Siauw

>> download materi kultum nya :)
baca selengkapnya »»  

Segera terbit buletin dakwah "INSPIRE NS" edisi perdana


baca selengkapnya »»  

Menjawab Bacaan Ayat Terakhir Surat At-Tin





Diasuh oleh: Ust. Muhammad Muafa, M.Pd Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Diakhir surat Al-Qur'an At-Tin itu ada ayat pertanyaan, bila ada seseorang membacanya kita disunnahkan untuk menjawabnya.1. Apakah yang demikian itu sunnah? mohon penjelasannya.2. Bagaimana lafadz jawaban dari surat At-Tin tersebut?3. Dan mohon disebutkan surat Al-Qur'an apa saja yang harus dijawab seperti surat At-Tin ini, dan bagaiman lafadznya masing-masing?

Jazakallahu Khairon. Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh..

AMINUR RIFA'I - MALANG, JAWA TIMUR

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Ketika membaca surat At-Tin dan sampai pada ayat terakhir yang berbunyi;

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

Disunnahkan untuk menyahut dengan bacaan;

بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ

Hukum sunnah ini berlaku baik surat tersebut dibaca di luar shalat maupun saat melakukan shalat. Dalil kesunnahan menyahut dengan bacaan tersebut adalah hadis berikut;

سنن الترمذى - مكنز (12/ 219، بترقيم الشاملة آليا)حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ سَمِعْتُ رَجُلاً بَدَوِيًّا أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَرْوِيهِ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ (وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ) فَقَرَأَ (أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ) فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Isma'il bin Umayyah, ia berkata; saya mendengar seorang badui berkata; saya mendengar Abu Hurairah meriwayatkan hadits, ia berkata; barang siapa yang membaca surat At Tiin kemudian membaca: alaisallahu biahkamil hakimin "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?" (QS. Attin 8), hendaknya ia mengatakan; balaa wa ana 'alaa dzalika minasy syaahidiin (benar, dan aku termasuk orang-orang yang bersaksi atas hal itu). (H.R. At-Tirmidzi)

Riwayat Abu Dawud berbunyi;

سنن أبى داود - مكنز (3/ 189، بترقيم الشاملة آليا)حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِى إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ (وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ) فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا (أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ) فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ وَمَنْ قَرَأَ (لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ) فَانْتَهَى إِلَى ( أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِىَ الْمَوْتَى) فَلْيَقُلْ بَلَى وَمَنْ قَرَأَ (وَالْمُرْسَلاَتِ) فَبَلَغَ ( فَبِأَىِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ) فَلْيَقُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ ». قَالَ إِسْمَاعِيلُ ذَهَبْتُ أُعِيدُ عَلَى الرَّجُلِ الأَعْرَابِىِّ وَأَنْظُرُ لَعَلَّهُ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِى أَتَظُنُّ أَنِّى لَمْ أَحْفَظْهُ لَقَدْ حَجَجْتُ سِتِّينَ حَجَّةً مَا مِنْهَا حَجَّةٌ إِلاَّ وَأَنَا أَعْرِفُ الْبَعِيرَ الَّذِى حَجَجْتُ عَلَيْهِ.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Az Zuhri telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Umayyah saya mendengar seorang arab badui berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa di antara kalian membaca; "WAT TIIN WAZ ZAITUN (Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun), " sampai akhir ayat "ALAISALLAHU BI AHKAMIL HAAKIMIIN (Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?) " hendaknya ia mengucapkan; "Benar, dan kami menjadi saksi untuk itu." Dan barangsiapa membaca; "LAA UQSIMU BIYAUMIL QIYAAMAH (Aku bersumpah demi hari kiamat), hingga akhir ayat "ALAISA DZAALIKA BI QAADIRIN `ALAA AIYYUHYIYAL MAUTA (Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?), maka hendaklah ia mengatakan; BALAA "benar." Dan barangsiapa membaca; WAL MURSALAATI `URFA (Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan) sampai dengan; FA BIAIYYI HADITSIN BA`DAHU YU`MINUN (Maka kepada perkataan apakah sesudah Al Quraan ini mereka akan beriman?), maka hendaknya ia mengatakan; AAMANTU BILLAH "aku beriman kepada Allah." Isma'il berkata: aku pergi untuk melihat apakah dia menjaganya, Dan dia adalah seorang badui, dia berkata; "wahai saudaraku, apakah kamu mengira bahwa aku tidak menjaganya, sungguh aku telah berhaji sebanyak enam puluh kali, tidaklah ada pada satu tahun pun kecuali aku mengetahui unta yang dulu aku pakai untuk berhaji." (H.R. Abu Dawud)

Adapaun sebagian pendapat kaum muslimin yang menolak hadis ini dan menganggapnya hadis Dhoif dengan beralasan Majhulnya (tidak diketahuinya) nama perawi sebelum Abu Hurairah, dan hanya disebut A'roby (Arab badui), maka Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqolani telah menyanggahnya dalam kitab beliau "Nata-ij Al-Afkar".  Menurut beliau jalur periwayatan hadis ini bukan hanya dari Abu Hurairah saja, tetapi juga ada jalur yang berasal dari Al-Baro' bin 'Azib, Jabir dan Ibnu 'Abbas. Ada pula jalur Mursal dari sebagian Tabi'in dan riwayat Mauquf dari sebagian shahabat. Dengan kenyataan ini, yakni berbilangnya sejumlah jalur yang bisa menjadi penguat maka penilaian Dhoif bukanlah yang dijadikan sandaran. Maknanya, Ibnu Hajar memandang hadis tersebut masih terkategori riwayat yang bisa diterima, yakni Hadis Hasan. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadis tersebut secara Mauquf pada Ibnu Abbas dengan Sanad Muttashil (bersambung)  yang terdiri dari perawi-perawi Tsiqot.
Adapun riwayat yang melarang berbicara dengan ucapan manusia saat Shalat seperti riwayat-riwayat berikut ini;

صحيح البخاري (4/ 393)عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَكُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata: "Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata: "Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan". (H.R. Bukhari)

صحيح مسلم (3/ 140)عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَبَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ

Dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia (H.R. Muslim)

صحيح مسلم (3/ 142)عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَكُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ{ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ }فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ وَنُهِينَا عَنْ الْكَلَامِ
Dari Zaid bin Arqam dia berkata, "Dahulu kami bercakap-cakap dalam shalat. Seorang laki-laki bercakap-cakap dengan teman di sampingnya dalam keadaan shalat, hingga turun ayat, '...Shalatlah kamu karena Allah dengan khusyu'. (Al-Baqarah: 238). Lalu kami disuruh diam, dan dilarang bercakap-cakap'." (H.R. Muslim)

Maka riwayat ini tidak menjadi dalil dilarangnya mengucapkan lafadz-lafadz sahutan ketika mendengar ayat tertentu di dalam Shalat. Hal itu dikarenakan perintah menyahut dengan lafadz tertentu pada ayat-ayat tertentu dinyatakan dengan lafadz Mutlak tanpa pembatasan, sehingga berlaku baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Hal ini bermakna, lafadz-lafadz sahutan tersebut bukanlah termasuk ucapan manusia yang dilarang oleh syara'.  Lafadz-lafadz sahutan tersebut semakna dengan respon-respon ucapan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam saat Shalat Tahajjud ketika membaca ayat-ayat Al-Quran sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat berikut ini;

صحيح مسلم (4/ 171)عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ

Dari Hudzaifah ia berkata; Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mulai membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan ruku' pada ayat yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat dengan (surat itu) dalam satu raka'at. Namun (surat Al Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surat An Nisa` hingga selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surat Ali Imran hingga selesai hingga beliau selesai membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. (H.R. Muslim)

Selain ayat dalam surat At-Tin, ada pula sejumlah ayat lain yang disunnahkan menyahut dengan bacaan tertentu, diantaranya;

1.Surat Al-Qiyamah. Ketika sampai ayat yang berbunyi;

َلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِىَ الْمَوْتَى Maka menyahut dengan ucapan;

بَلَى  atau سُبْحَانَكَ atau سبحانك اللهم بلى atau سبحانه وبلى

2.Surat Al-Mursalat. Ketika sampai ayat yang berbunyi;

فَبِأَىِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ Maka menyahut dengan ucapan;

آمَنَّا بِاللَّهِ

3. Surat Al-A'la. Ketika membaca ayat yang berbunyi;

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى

Maka menyahut dengan ucapan;

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

4.Surat Ar-Rohman. Ketika sampai ayat yang berbunyi;

فَبِأَىِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Maka menyahut dengan ucapan;

لاَ بِشَىْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

Dalil-dalil penjelasan di atas adalah riwayat-riwayat berikut ini;

سنن أبى داود - م (1/ 330)عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِى عَائِشَةَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ يُصَلِّى فَوْقَ بَيْتِهِ وَكَانَ إِذَا قَرَأَ (أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِىَ الْمَوْتَى) قَالَ سُبْحَانَكَ فَبَلَى فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

dari Musa bin Abu Aisyah dia berkata; " Seseorang shalat diatas rumahnya, apabila ia selesai membaca ayat "alaisa dzaalika bi qaadirin 'ala an yuhyiyal mauta" (Bukankah Dzat yang demikian itu lebih mampu untuk menghidupkan yang mati)?" maka dia mengucapkan "subhanaka" lalu menangis. Mereka bertanya kepada laki-laki tersebut tentang perbuatannya itu, dia menjawab bahwa dirinya pernah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." (H.R. Abu Dawud)

سنن أبى داود - م (1/ 329)عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَرَأَ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) قَالَ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ». Dari Ibnu Abbas bahwasanya nabi SAW jika membaca sabbihisma robbikal a'la maka beliau mengucapkan  Subhana robbiyal a'la (H.R. Abu Dawud)

سنن الترمذى - مكنز (12/ 123، بترقيم الشاملة آليا)عَنْ جَابِرٍ رضى الله عنه قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى أَصْحَابِهِ فَقَرَأَ عَلَيْهِمْ سُورَةَ الرَّحْمَنِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَسَكَتُوا فَقَالَ « لَقَدْ قَرَأْتُهَا عَلَى الْجِنِّ لَيْلَةَ الْجِنِّ فَكَانُوا أَحْسَنَ مَرْدُودًا مِنْكُمْ كُنْتُ كُلَّمَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِهِ ( فَبِأَىِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ) قَالُوا لاَ بِشَىْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ »

dari Jabir radliallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui para sahabatnya dan membacakan kepada mereka surat Ar Rahman dari awal hingga akhir, kemudian mereka terdiam. Lalu beliau berkata; sungguh aku telah membacakannya kepada jin pada malam kedatangan jin dan mereka lebih baik jawabannya daripada kalian. Aku setiap kali membaca FirmanNya: "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Arrahman 16 dan seterusnya), Mereka mengatakan; "laa bisyai'in min ni'amika robbanaa nukadzdzibu falakal hamdu."Tidak, kami tidak mendustakan sedikitpun kenikmatanMu wahai Tuhan kami. Segala puji bagiMu. (H.R. At-Tirmidzi). Wallahua'alam.


baca selengkapnya »»  

Sabtu, 29 Desember 2012

Tahukan Anda Penyakit 'ain?



Pembaca yang budiman, apa sebenarnya pengertian dari penyakit ‘ain, bagaimana cara pencegahan dan juga cara penanganannya jika terkena penyakit tersebut. Untuk dapat memahaminya mari kita perhatikan dengan seksama penjelasan berikut ini mengenai pengertian dari penyakit ‘ain, selamat menyimak…..

Terkadang orang tua merasa panik dan merasa aneh ketika tiba-tiba permata hatinya menangis terus sepanjang hari tanpa ada sebab yang pasti, sakit… tidak juga, digigit serangga pun tidak. Lalu…? Ada apa dengan buah hati kesayangan ini…?

Penyakit yang diderita anak-anak tidak semuanya bisa dideteksi dengan ilmu kedokteran. Ada juga sebab syar’i yaitu penyakit ‘ain. Sebagaimana pernah terjadi di zaman Rosululloh. Sebuah hadits riwayat Imam Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat anak perempuan di rumah Ummu Salamah istri beliau. Di wajah anak itu ada warna kehitaman. Beliau kemudian berkata kepada Ummu Salamah, “Ruqyahlah dia, karena dia terkena ‘ain.”

Di hadits yang lain juga diceritakan bahwa Rosululloh pernah menyuruh anak-anak pamannya untuk diruqyah karena badannya kurus-kurus seperti anak yang kekurangan makan.

Penyakit ‘ain atau pandangan mata adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap menakjubkan disertai dengan rasa dengki, sehingga mengakibatkan bahaya terhadap yang dipandangnya. ‘ain juga dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman tanpa disertai rasa dengki, bahkan bisa terjadi dari orang yang shalih. Sebagaimana pernah terjadi pada sahabat Nabi, Sahl bin Hunaif yang terkena ‘ain dari sahabat yang lain, yaitu Amir bin Rabiah.

Penyakit ‘ain itu benar-benar ada dan bukan khurafat yang dihubung-hubungkan dengan pujian. Sebagaimana anggapan sebagian besar masyarakat bahwa pujian kepada seorang anak akan menyebabkan sakit. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rosululloh bersabda, ‘ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain.”

Jadi bukanlah pujian yang menyebabkan dampak buruk bagi anak yang dipujinya, melainkan bermula dari pandangan mata sang pemujinya, baik pujian itu karena ada rasa iri atau karena benar-benar ada kekaguman.

Pendengar yang budiman, berikut ini terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindarkan anak dari penyakit ‘ain, di antaranya adalah:

Pertama, Melindungi diri dan anaknya dengan membaca ruqyah-ruqyah yang diajarkan dalam Islam dan membaca do’a, “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat.” (Riwayat Bukhori)

Kedua, Juga membaca do’a yang digunakan Rosululloh untuk melindungi Hasan dan Hus’ain, “Aku berlindung kepada Alloh untukmu berdua dengan kalimat-kalimat Alloh yang sempurna, dari segala setan, binatang yang berbisa, dan pandangan mata yang jahat.”

Ketiga, Siapapun orangnya jika melihat sesuatu yang baik ada pada dirinya, anaknya, hartanya atau yang lainnya yang menakjubkan dirinya, hendaklah membaca do’a, “ Masya Alloh (atas kehendak Alloh), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Alloh. Ya Alloh, berikan berkah padanya.”

Keempat, Sebaiknya orang tua tidak mengungkapkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki anaknya, karena hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan iri pada orang lain.

Adapun jika anak tersebut terkena ‘ain, maka hal-hal yang perlu untuk dilakukan adalah:

Jika pelakunya diketahui, maka orang tersebut diperintahkan untuk berwudhu. Bekas wudhu orang tersebut digunakan untuk memandikan anak yang terkena ‘ain.

Tapi jika tidak diketahui, maka perbanyaklah membaca surat Al-Ikhlas, muawwidzat’ain An-Nas dan Al-Falaq, Al-Fatihah, ayat Kursi, 2 ayat terakhir surat Al-Baqarah, dan mendo’a kan dengan do’a-do’a yang disyariatkan. Membaca pada air disertai tiupan, kemudian diminumkan pada anak yang sakit dan sisanya disiramkan ke tubuhnya, atau dibacakan pada minyak dan minyaknya dioleskan ke tubuhnya. Lebih baik lagi jika bacaan itu dibacakan pada air zam-zam.

Ibnu Qoyyim rohimahulloh mengatakan bahwa penyakit ‘ain ada dua jenis, yaitu ‘ain insi atau ‘ain yang berunsur manusia, dan ‘ain jinni atau ‘ain yang berunsur jin.

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhori dan Muslim serta yang lainnya, diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang budak wanita di rumahnya yang wajahnya terlihat kusam. Beliau berkata, ”Ruqyah wanita ini, ia terkena ‘ain.

Al-Hus’ain bin Mas’ud Al-Farro berkata: Adapun sabda beliau “sa’fatun” yang berarti kusam adalah bermakna “Nadzrotun”, yaitu terkena ‘ain dari unsur jin.

Bayi yang baru lahir dan anak-anak sangat rentan terkena penyakit ‘ain. Apalagi jika bayi atau anak itu mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki bayi atau anak yang lain, seperti kelucuannya, rupanya yang manis, kesehatannya, dan lain-lain yang mengundang perhatian siapa saja yang melihatnya.

Adapun diantara tanda-tanda anak yang terkena pengaruh buruk ‘ain adalah :

Pertama, Tangisan yang tidak wajar yang tidak kunjung berhenti, kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu kepada ibunya tanpa sebab yang jelas.

Dalam shahihul Jami’ disebutkan bahwa Aisyah radhiyallohu ‘anha berkata: “Suatu ketika Nabi masuk (rumahnya) kemudian mendengar bayi sedang menangis. Beliau berkata, ”Mengapa bayi kalian menangis? Mengapa tidak kalian bacakan ruqyah-ruqyah (supaya sembuh) dari penyakit ‘ain?”

Kedua, Kondisi tubuh yang sangat kurus kering

Sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad dan Baihaqi, dari Jabir rodhiyallohu anhu bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memberi rukhshoh atau keringanan bagi anak-anak Ja’far memakai bacaan ruqyah dari sengatan ular. Beliau berkata kepada Asma’ binti Umais, ”Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma’ menjawab: “tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain.” Nabi bersabda, ”Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!”

Ibnu Qoyyim rohimahulloh mengatakan bahwa terkadang seseorang bisa mengarahkan ‘ain kepada dirinya sendiri. Pelakunya termasuk jenis manusia yang paling jahat.

Namun terkadang pengaruh buruk ‘ain terjadi tanpa kesengajaan dari orang yang memandang takjub terhadap sesuatu yang dilihatnya. Lebih dari itu pengaruh buruk ini juga bisa terjadi dari orang yang hatinya bersih atau orang-orang yang sholih sekalipun mereka tidak bermaksud menimpakan ‘ain kepada apa yang dilihatnya. Hal ini pernah terjadi diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal hati mereka terkenal bersih, tidak ada rasa iri atau dengki terhadap sesamanya. Akan tetapi dengan izin Alloh dan takdirnya, pengaruh buruk ‘ain ini dapat terjadi diantara mereka.

Pendengar yang budiman, demikianlah apa yang dapat kami ulas di kesempatan kali ini mengenai pengertian dari penyakit ‘ain beserta cara pencegahannya. Semoga bermanfaat. dan jika ada masukan atau tambahan silahkan kita sharing bersama untuk menambah dan labih memahami lagi tentang pembahasan diatas, wallohu ‘alam…..
fajri fm

baca selengkapnya »»  

Jumat, 28 Desember 2012

Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam



Setiap akhir tahun biasanya semua manusia di dunia ini tidak terkecuali kaum Muslim mengalami wabah penyakit yang luar biasa, pengidap penyakit ini biasanya menjadi suka menghamburkan harta untuk berhura-hura, euforia yang berlebihan, pesta pora dengan makanan yang mewah, minum-minum semalam penuh, lalu mendadak ngitung (3.., 2.., 1.. Dar Der Dor!).

Wabah itu bukan flu burung, bukan juga kelaparan, tapi wabah penyakit akhir tahun yang kita biasa sebut dengan tradisi perayaan tahun baruan. Kaum muda pun tak ketinggalan merayakan tradisi ini. Kalo yang udah punya gandengan merayakan dengan jalan-jalan konvoi keliling kota, pesta di restoran, kafe, warung (emang ada ya?)

Kalo yang jomblo yaa.. tiup terompet, baik terompet milik sendiri ataupun minjem (bagi yang nggak punya duit). Kalo yang kismin, ya minimal jalan-jalan naik truk bak sapi lah, sambil teriak-teriak nggak jelas.
Dan bagi kaum adam yang normal menurut pandangan jaman ini, kesemua perayaan itu tidaklah lengkap tanpa kehadiran kaum hawa. Karena seperti kata iklan “nggak ada cewe, nggak rame”
Bahkan di kota-kota besar, tak jarang setelah menunggu semalaman pergantian tahun itu mereka mengakhirinya dengan perbuatan-perbuatan terlarang di hotel atau motel terdekat.

Yah itulah sedikit cuplikan fakta yang sering kita lihat, dengar, dan rasakan menjelang malam-malam pergantian tahun. Ini dialami oleh kaum muslimin, khususnya para anak muda yang memang banyak sekali warna dan gejolaknya. Nah, sebagai pemuda-pemudi muslim yang cerdas, agar kita nggak salah langkah di tahun baruan ini, maka kita harus menyimak gimana seharusnya kita menyikapi momen yang satu ini.
Asal muasal tahun baruan

Awal muasal tahun baru 1 Januari jelas dari praktik penyembahan kepada dewa matahari kaum Romawi. Kita ketahui semua perayaan Romawi pada dasarnya adalah penyembahan kepada dewa matahari yang disesuaikan dengan gerakan matahari.

Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.

Sepanjang bulan Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi, dan titik tterjauh matahari adalah pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6  hari kemudian.

Karena itulah Romawi merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari perayaan Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal 23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25 Desember. Sampai tanggal 1-5  Januari yaitu Perayaan Tahun Baru (Matahari Baru)

Orang-orang Romawi merayakan Tahun Baru ini biasa dengan berjudi, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan segala tindakan keji penuh nafsu kebinatangan diumbar disana. Persis seperti yang terjadi pada saat ini.

Ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen dengan agama pagan Romawi. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day), dan banyak perayaan dan simbol serta ritual lain yang diadopsi.

Bahkan untuk membenarkan 1 Januari sebagai perayaan besar, Romawi menyatakan bahwa Yesus yang lahir pada tanggal 25 Desember menurut mereka disunat 6 hari setelahnya yaitu pada tanggal 1 Januari, maka perayaannya dikenal dengan nama ’Hari Raya Penyunatan Yesus’ (The Circumcision Feast of Jesus)
Pandangan Islam terhadap Perayaan Tahun Baru’Ala kulli hal, yang ingin kita sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah suatu keharaman di dalam Islam.

Dari segi budaya dan gaya hidup, perayaan tahun baruan pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir imperialis dalam menyerang kaum muslim untuk menyebarkan ideologi setan yang senantiasa mereka emban yaitu sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya seperti pluralisme, hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum muslim, sekaligus menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum kapitalis.

Serangan-serangan pemikiran yang dilakukan barat ini dimaksudkan sedikitnya pada 3 hal yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup yang Islami, (2) mengalihkan perhatian kaum muslim atas penderitaan dan kedzaliman yang terjadi pada diri mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin khususnya para pemuda.

Ketiga hal tersebut jelas terlihat pada perayaan tahun baru yang dirayakan dan dibuat lebih megah dan lebih besar daripada hari raya kaum muslimin sendiri. Tradisi barat merayakan tahun baru dengan berpesta pora, berhura-hura diimpor dan diikuti oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan pemerintah untuk mangajarkan kaum muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan konsumerisme.

Kaum muslim dibuat bersenang-senang agar mereka lupa terhadap penderitaan dan penyiksaan yang terjadi atas saudara-saudara mereka sesama muslim. Dan lewat tahun baruan ini pula disiarkan dan dipropagandakan secara intensif budaya barat yang harus diikuti seperti pesta kembang api, pesta minum minuman keras serta film-film barat bernuansa persuasif di televisi.

Semua hal tersebut dilakukan dengan bungkus yang cantik sehingga kaum muslimin kebanyakan pun tertipu dan tanpa sadar mengikuti budaya barat yang jauh dari ajaran Islam. Anggapan bahwa tahun baru adalah “hari raya baru” milik kaum muslim pun telah wajar dan membebek budaya barat pun dianggap lumrah.
Walhasil, kaum secara i’tiqadi dan secara logika seorang muslim tidak layak larut dan sibuk dalam perayaan haram tahun baruan yang menjadi sarana mengarahkan budaya kaum muslim untuk mengekor kepada barat dan juga membuat kaum muslimin melupakan masalah-masalah yang terjadi pada mereka.

Dan hal ini juga termasuk mengucapkan selamat Tahun Baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru, meniup terompet, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan orang-orang kafir. Wallahua’lam

Akhuna Felix Siauw

download materi kultumnya
Islam dan Toleransi


baca selengkapnya »»